Pulsagram, Bisnis Pulsa Elektronik Pulsagram Lain dulu, lain pula sekarang. Dulu, pejabat atau petugas negara bisa merasa tenang setelah berbuat atau 'terpaksa' berbuat salah dalam menjalankan tugasnya. Tapi seiring perkembangan jaman, sekarang ini menjadi seorang pejabat negara tidaklah senyaman yang dibayangkan. Publik dan lembaga atau badan pengawas terus mengincar kesalahan mereka. Era keterbukaan selalu menjadi hal yang tidak menyenangkan bagi para penguasa. Seorang pejabat negara tidak bisa lagi seenaknya tinggal menunjukkan ujung jari untuk memerintahkan sesuatu.
Sebuah tulisan bagus dibawah ini bisa menggambarkan kondisi itu. Dan, semoga ini bukan gejala yang hanya sekedar basa-basi. Tapi memang usaha perbaikan untuk melaksanakan kehidupan bernegara dengan cara-cara yang lebih baik dan benar.
Memidana Pejabat Publik
Oleh : Hikmahanto Juwana
Baru-baru ini diberitakan di Amerika Serikat bahwa agen FBI yang melakukan tugasnya pasca-peristiwa 9/11 tidak akan dituntut, meski melanggar hak asasi manusia (HAM). Sebelumnya diberitakan bahwa Presiden Obama mendapat kecaman karena tidak bersedia melakukan tuntutan hukum terhadap agen CIA yang melakukan penyiksaan berupa waterboarding terhadap para tahanan di Guantanamo.
Apa yang dilakukan para agen CIA dan FBI itu tentu tidak dalam kapasitas pribadi mereka. Tindakan tersebut dilakukan dalam kapasitas mereka sebagai agen negara dan karenanya masuk kategori pejabat publik (public official). Kalau saja Obama membolehkan para agen itu dituntut secara pidana, berarti pejabat publik dijadikan pelaku tindak pidana. Ini merupakan perluasan terhadap pelaku tindak pidana, yang secara tradisional terbatas pada orang dan badan hukum (tindak pidana korporasi).
Pejabat publik sebagai pelaku tindak pidana sebenarnya bukan hal baru. Pasca-Perang Dunia II, orang-orang yang menduduki jabatan seperti perdana menteri, menteri, panglima perang, bahkan prajurit Jepang dan Jerman harus mempertanggungjawabkan perbuatan mereka secara pidana. Mereka dipersalahkan telah melakukan kejahatan internasional.
Selanjutnya, pada 1984, masyarakat internasional menyepakati Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (selanjutnya disebut ''Konvensi Penyiksaan''). Konvensi Penyiksaan ini telah diratifikasi Pemerintah Indonesia pada 1988.
Konvensi itu mewajibkan negara peserta untuk menghindari dan menghukum tindakan penyiksaan atau tindakan sadis, tidak manusiawi, atau perlakuan atau penghukuman yang merendahkan martabat manusia yang dilakukan pejabat publik (public official or other person acting in an official capacity). Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan pejabat publik tidak saja mereka yang menduduki jabatan tinggi dalam birokrasi, melainkan juga aparat penegak hukum, seperti polisi dan petugas lembaga pemasyarakatan.
Indonesia pun pernah memiliki pengalaman memproses secara pidana pejabat publik, meskipun akhirnya pengadilan membebaskannya. Mereka, antara lain, adalah orang yang dianggap terlibat dalam peristiwa Timor Timur dan Tanjung Priok. Individu yang dipersalahkan tentu saja tidak dalam kapasitas sebagai pribadi. Mereka dipersalahkan ketika menduduki jabatan tertentu. Ada yang menjabat sebagai gubernur, panglima daerah militer, kepala kepolisian daerah, dan sebagainya.
Bahkan di Indonesia ada perkembangan baru, yakni pejabat publik dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara pidana bila melakukan kebijakan yang bertentangan dengan undang-undang. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang tentang Pertambangan dan Batu Bara (UU Minerba), yang disahkan pada awal tahun ini.
Pasal 165 UU Minerba menyebutkan, setiap orang yang mengeluarkan izin di bidang pertambangan dan batu bara yang bertentangan dengan UU Minerba dapat dikenai sanksi pidana. Dalam perumusan memang disebutkan "orang". Namun, bila dikaitkan dengan izin, maka orang yang berhak mengeluarkan izin haruslah pejabat publik. Adapun sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada pejabat publik berdasarkan Pasal 165 UU Minerba itu ada dua. Pertama, sanksi badan berupa penjara paling lama dua tahun. Kedua, sanksi denda paling banyak Rp 200 juta.
Dalam kaitan ini, pertanyaannya adalah: apa yang menjadi alasan rasional atau logika untuk memidanakan pejabat publik atas kebijakan yang dikeluarkannya? Pertanyaan ini didasarkan pada tiga kegalauan.
Pertama, apakah kebijakan pejabat publik yang tidak mengakibatkan luka bahkan kematian pada orang lain patut dikriminalisasi?
Kedua, bukankah kebijakan bisa berubah-ubah bila terjadi pergantian pejabat? Apa yang menjadi ukuran baik dan tidak baik? Hal ini mengingat kebijakan yang baik menurut seorang pejabat belum tentu dianggap baik, bahkan dianggap sesuai dengan peraturan perundang-undangan, oleh penggantinya.
Ketiga, haruskan para pejabat selalu dibayang-bayangi tanggung jawab pidana setiap kali mengambil kebijakan? Apakah hal ini tidak akan menghambat jalannya birokrasi?
Sebenarnya, di samping UU Minerba, dalam kenyataan terdapat dakwaan jaksa, bahkan putusan pengadilan, yang telah memidana pejabat publik. Para pejabat publik dipersalahkan atas dasar pengambilan kebijakan yang merugikan keuangan negara.
Harus diakui, menjadi pejabat publik pada era sekarang memang tidak nyaman. Di samping kerap dicaci karena tidak becus mengambil kebijakan, juga berpotensi untuk dipidana. Sungguhpun demikian, orang masih berlomba-lomba untuk mendapatkan jabatan dan menjadi pejabat publik.
Keris dan asal-usul senjata tradisional ini di Indonesia
-
Video: Keris dan asal-usul senjata tradisional ini di Indonesia | TV
Kampung. Senjata tradisional adalah produk budaya yang lekat hubungannya
dengan s...
7 tahun yang lalu